SEJARAH LAHIR DAN PERKEMBANGAN KONSTITUSI DI INDONESIA
Sejarah Lahir Konstitusi
Sebagai
Negara yang berdasarkan hukum, tentu saja Indonesia memiliki konstitusi yang
dikenal dengan undang-undang dasar 1945. Eksistensi Undang-Undang Dasar 1945
sebagai konstitusi di Indonesia mengalami sejarah yang sangaat panjang hingga
akhirnya diterima sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan ketatanegaraan di
Indonesia.
Dalam
sejarahnya, Undang-Undang Dasar 1945 dirancing sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni
1945 oleh badan penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
atau dalam bahasa jepang dikenal dengan dokuritsu zyunbi tyoosakai yang
beranggotakan 21 orang, diketuai Ir. Soekarno dan Drs. Moh, Hatta sebagai wakil
ketua dengan 19 orang anggota yang terdiri dari 11 orang wakil dari Jawa, 3
orang dari Sumatra dan masing-masing 1 wakil dari Kalimantan, Maluku, dan Sunda
kecil. Badan tersebut (BPUPKI) ditetapkan berdasarkan maklumat gunseikan nomor
23 bersamaan dengan ulang tahun Tenno Heika pada 29 April 1945 (Malian,
2001:59)
Badan
ini kemudian menetapkan tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi
Indonesia merdeka yang kemudian dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar 1945
(UUD’45). Para tokoh perumus itu adalah antara lain Dr. Radjiman
Widiodiningrat, Ki Bagus Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata, Pangeran Purboyo,
Pangeran Soerjohamidjojo, Soetarjo Kartohamidjojo, Prop. Dr. Mr. Soepomo, Abdul
Kadir, Drs. Yap Tjwan Bing, Dr. Mohammad Amir (Sumatra), Mr. Abdul Abbas
(Sumatra), Dr. Ratulangi, Andi Pangerang (keduanya dari Sulawesi), Mr.
Latuharhary, Mr. Pudja (Bali), AH. Hamidan (Kalimantan), R.P. Soeroso, Abdul
WACHID hasyim dan Mr. Mohammad Hasan (Sumatra).
Latar
belakang terbentuknya konstitusi (UUD’45) bermula dari janji Jepang untuk
memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dikemudian hari. Janji tersebut
antara lain berisi “sejak dari dahulu, sebelum pecahnya peperangan asia timur
raya, Dai Nippon sudah mulai berusaha membebaskan bangsa Indonesia dari
kekuasaan pemerintah hindia belanda. Tentara Dai Nippon serentak menggerakkan
angkatan perangnya, baik di darat, laut, maupun udara, untuk mengakhiri
kekuasaan penjajahan Belanda”.
Sejak
saat itu Dai Nippon Teikoku memandang bangsa Indonesia sebagai saudara muda
serta membimbing bangsa Indonesia dengan giat dan tulus ikhlas di semua bidang,
sehingga diharapkan kelak bangsa Indonesia siap untuk berdiri sendiri sebagai
bangsa Asia Timur Raya. Namun janji hanyalah janji, penjajah tetaplah penjajah
yang selalu ingin lebih lama menindas dan menguras kekayaan bangsa Indonesia.
Setelah Jepang dipukul mundur oleh sekutu, Jepang tak lagi ingat akan janjinya.
Setelah menyerah tanpa syarat kepada sekutu, rakyat Indonesia lebih bebas dan
leluasa untuk berbuat dan tidak bergantung pada Jepang sampai saat kemerdekaan
tiba.
Setelah
kemerdekaan diraih, kebutuhan akan sebuah konstitusi resmi nampaknya tidak bisa
ditawar-tawar lagi, dan segera harus dirumuskan. Sehingga lengkaplah Indonesia
menjadi sebuah Negara yang berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari
setelah ikrar kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
mengadakan sidangnya yang pertama kali dan menghasilkan beberapa keputusan
sebagai berikut:
1.
Menetapkan dan mengesahkan pembukaan
UUD 1945 yang bahannya diambil dari rancangan undang-undang yang disusun oleh
panitia perumus pada tanggal 22 Juni 1945
2.
Menetapkan dan mengesahkan UUD 1945
yang bahannya hampir seluruhnya diambil dari RUU yang disusun oleh panitia
perancang UUD tanggal 16 Juni 1945
3.
Memilih ketua persiapan kemerdekaan
Indonesia Ir. Soekarno sebagai presiden dan wakil ketua Drs. Muhammad Hatta
sebagai wakil presiden
4.
Pekerjaan presiden untuk sementara
waktu dibantu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang kemudian
menjadi komite Nasional
5.
Dengan terpilihnya presiden dan
wakilnya atas dasar Undang-Undang Dasar 1945 itu, maka secara formal Indonesia
sempurna sebagai sebuah Negara, sebab syarat yang lazim diperlukan oleh setiap
Negara telah ada yaitu adanya:
@ Rakyat, yaitu bangsa Indonesia
@ Wilayah, yaitu tanah air Indonesia yang terbentang dari
sabang hingga ke merauke yang terdiri dari 13.500 buah pulau besar dan kecil
@ Kedaulatan yaitu sejak mengucap proklamasi kemerdekaan
Indonesia
@ Pemerintah yaitu sejak terpilihnya presiden dan wakilnya
sebagai pucuk pimpinan pemerintahan Negara
Tujuan Negara yaitu mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila. Bentuk Negara yaitu Negara
kesatuan.
Perkembangan Konstitusi di Indonesia
Konstitusi
sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara
dapat berupa konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Dalam hal
konstitusi terstulis, hampir semua negara di dunia memilikinya yang lajim
disebut undang-undang dasar (UUD) yang pada umumnya mengatur mengenai
pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga kenegaraan
serta perlindungan hak azasi manusia. Negara yang dikategorikan sebagai negara
yang tidak memiliki konstitusi tertulis adalah Inggris dan Kanada. Di kedua
negara ini, aturan dasar terhadap semua lembaga-lembaga kenegaraan dan semua
hak azasi manusia terdapat pada adat kebiasaan dan juga tersebar di berbagai
dokumen, baik dokumen yang relatif baru maupun yang sudah sangat tua seperti
Magna Charta yang berasal dari tahun 1215 yang memuat jaminan hak-hak azasi
manusia rakyat Inggris.Karena ketentuan mengenai kenegaraan itu tersebar dalam
berbagai dokumen atau hanya hidup dalam adat kebiasaan masyarakat itulah maka
Inggris masuk dalam kategori negara yang memiliki konstitusi tidak tertulis.
Adanya
negara yang dikenal sebagai negara konstitusional tetapi tidak memiliki
konstitusi tertulis, nilai-nilai, dan norma-norma yang hidup dalam
praktek penyelenggaraan negara juga diakui sebagai hukum dasar, dan
tercakup pula dalam pengertian konstitusi dalam arti yang luas. Karena itu,
Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma
hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam
praktek penyelenggaraan negara sehari-hari, termasuk ke dalam pengertian
konstitusi atau hukum dasar (droit constitusionnel) suatu Negara.
Dalam
perkembangan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi menempati
posisi yang sangat penting. Pengertian dan materi muatan konstitusi senantiasa
berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan organisasi
kenegaraan. Kajian tentang konstitusi semakin penting dalam negara-negara
modern saat ini yang pada umumnya menyatakan diri sebagai negara
konstitusional, baik demokrasi konstitusional maupun monarki konstitusional.
Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat diketahui prinsip-prinsip dasar
kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu
negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi dapat dikatakan mewakili tingkat
peradaban suatu bangsa.
Suatu
konstitusi tertulis, sebagaimana halnya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945),
nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat serta praktek
penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah
Undang-Undang Dasar. Karena itu, suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang
menjadi latar belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis perumusan
juridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan seksama,
untuk dapat mengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam
pasal-pasal Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang
Dasar tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh
mengerti, kita harus memahami konteks filosois, sosio-historis sosio-politis,
sosio-juridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya. Di
samping itu, setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi
kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of
reference) dan medan pengalaman (ield of experience) dengan muatan kepentingan
yang berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan Undang-Undang
Dasar dapat terus berkembang dalam praktek di kemudian hari. Karena itu,
penafsiran terhadap Undang-Undang Dasar pada masa lalu, masa kini, dan pada
masa yang akan datang, memerlukan rujukan standar yang dapat
dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, sehingga Undang-Undang Dasar tidak
menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga.
Untuk itulah, menyertai penyusunan dan perumusan naskah Undang-Undang Dasar,
diperlukan pula adanya Pokok-Pokok pemikiran konseptual yang mendasari setiap
perumusan pasal-pasal Undang-Undang Dasar serta keterkaitannya secara langsung
atau tidak langsung terhadap semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar .
UNDANG-UNDANG DASAR 1945
UUD
1945 pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi Negara Indonesia dalam
sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945,
yaitu sehari setelah kemerdekaan negara Republik Indonesia diproklamasikan oleh
Soekarno dan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Naskah UUD 1945 ini
pertama kali dipersiapkan oleh satu badan bentukan pemerintahbalatentara Jepang
yang diberi nama “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” yang dalam bahasa Indonesia
disebut “Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI).
Pimpinan dan anggota badan ini dilantik oleh Pemerintah Balatentara Jepang pada
tanggal 28 Mei 1945 dalam rangka memenuhi janji Pemerintah Jepang di depan
parlemen (Diet) untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia . Namun,
setelah pembentukannya, badan ini tidak hanya melakukan usaha-usaha persiapan
kemerdekaan sesuai dengan tujuan pembentukannya, tetapi malah mempersiapkan
naskah Undang-Undang Dasar sebagai dasar untuk mendirikan Negara Indonesia
merdeka.
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ini beranggotakan 62 orang, diketuai oleh K.R.T.
Radjiman Wedyodiningrat, serta Itibangase Yosio dan Raden Panji Suroso,
masing-masing sebagai Wakil Ketua[6]. Persidangan badan ini dibagi dalam dua
periode, yaitu masa sidang pertama dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni
1945, dan masa sidang kedua dari tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945.
Dalam kedua masa sidang itu, fokus pembicaraan dalam sidang-sidang BPUPKI
langsung tertuju pada upaya mempersiapkan pembentukan sebuah negara merdeka.
Hal ini terlihat selama masa persidangan pertama, pembicaraan tertuju pada soal
‘philosoische grondslag’, dasar falsafah yang harus dipersiapkan dalam rangka
negara Indonesia merdeka. Pembahasan mengenai hal-hal teknis tentang bentuk
negara dan pemerintahan baru dilakukan dalam masa persidangan kedua dari
tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Agustus 1945 .
Dalam
masa persidangan kedua itulah dibentuk Panitia Hukum Dasar dengan anggota
terdiri atas 19 orang, diketuai oleh Ir. Soekarno. Panitia ini membentuk
Panitia Kecil yang diketuai oleh Prof. Dr. Soepomo, dengan anggota yang terdiri
atas Wongsonegoro, R. Soekardjo, A.A. Maramis, Panji Singgih, Haji Agus Salim,
dan Sukiman. Pada tanggal 13 Juli 1945, Panitia Kecil berhasil menyelesaikan tugasnya,
dan BPUPKI menyetujui hasil kerjanya sebagai rancangan Undang-Undang Dasar pada
tanggal 16 Agustus 1945. Setelah BPUPKI berhasil menyelesaikan tugasnya,
Pemerintah Balatentara Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) yang beranggotakan 21 orang, termasuk Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad
Hatta, masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua.
Setelah mendengarkan laporan hasil
kerja BPUPKI yang telah menyelesaikan naskah rancangan Undang-Undang Dasar,
pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, beberapa anggota masih ingin
mengajukan usul-usul perbaikan disana-sini terhadap rancangan yang telah
dihasilkan, tetapi akhirnya dengan aklamasi rancangan UUD itu secara resmi
disahkan menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Namun demikian,
setelah resmi disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
UUD
1945 ini tidak langsung dijadikan referensi dalam setiap pengambilan keputusan
kenegaraan dan pemerintahan. UUD 1945 pada pokoknya benar-benar dijadikan alat
saja untuk sesegera mungkin membentuk negara merdeka yang bernama Republik
Indonesia. UUD 1945 memang dimaksudkan sebagai UUD sementara yang menurut
istilah Bung Karno sendiri merupakan ‘revolutie-grondwet’ atau Undang-Undang
Dasar Kilat, yang memang harus diganti dengan yang baru apabila negara merdeka
sudah berdiri dan keadaan sudah memungkinkan. Hal ini dicantumkan pula dengan
tegas dalam ketentuan asli Aturan Tambahan Pasal II UUD 1945 yang berbunyi:
“Dalam enam bulan sesudah Majelis
Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk menetapkan
Undang-Undang Dasar”.
Adanya ketentuan Pasal III Aturan
Tambahan ini juga menegaskan bahwa UUD Negara Republik Indonesia yang bersifat
tetap barulah akan ada setelah MPR-RI menetapkannya secara resmi. Akan tetapi,
sampai UUD 1945 diubah pertama kali pada tahun 1999, MPR yang ada berdasarkan
UUD 1945 belum pernah sekalipun menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik
Indonesia.
KONSTITUSI RIS 1949
Setelah Perang Dunia Kedua berakhir
dengan kemenangan di pihak Tentara Sekutu dan kekalahan di pihak Jepang, maka
kepergian Pemerintah Balatentara Jepang dari tanah air Indonesia dimanfaatkan
oleh Pemerintah Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Namun, usaha
Pemerintah Belanda untuk kembali menanamkan pengaruhnya tidak mudah karena mendapat
perlawanan yang sengit dari para pejuang kemerdekaan Indonesia. Karena itu,
Pemerintah Belanda menerapkan politik adu domba dengan cara mendirikan dan
mensponsori berdirinya beberapa negara kecil di berbagai wilayah nusantara,
seperti Negara Sumatera, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa
Timur, dan sebagainya. Dengan kekuasaan negara-negara yang terpecah-pecah itu
diharapkan pengaruh kekuasaan Republik Indonesia di bawah kendali pemerintah
hasil perjuangan kemerdekaan dapat dieliminir oleh Pemerintah Belanda.
Sejalan dengan hal itu, Tentara
Belanda melakukan Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada tahun1948 untuk
maksud kembali menjajah Indonesia. Dalam keadaan terdesak, maka atas pengaruh
Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan tanggal
2 November 1949 diadakan Konperensi Meja Bundar (Round Table Conference) di Den
Haag. Konperensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Republik Indonesia dan
‘Bijeenkomst voor Federal Overleg’ (B.F.O.) serta wakil Nederland dan Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.
Konperensi Meja Bundar tersebut
berhasil menyepakati tiga hal, yaitu:
1. Mendirikan Negara Republik
Indonesia Serikat.
2. Penyerahan kedaulatan kepada RIS
yang berisi 3 hal, yaitu (a) piagam penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda
lepada Pemerintah RIS; (b) status uni; dan (c) persetujuan perpindahan.
3. Mendirikan uni antara Republik
Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda
Naskah konstitusi Republik Indonesia
Serikat disusun bersama oleh delegasi Republik Indonesia dan delegasi BFO ke
Konperensi Meja Bundar itu. Dalam delegasi Republik Indonesia yang dipimpin
oleh Mr. Mohammad Roem, terdapat Prof. Dr. Soepomo yang terlibat dalam
mempersiapkan naskah Undang-Undang Dasar tersebut. Rancangan UUD itu disepakati
bersama oleh kedua belah pihak untuk diberlakukan sebagai Undang-Undang Dasar
RIS. Naskah Undang- Undang Dasar yang kemudian dikenal dengan sebutan
Konstitusi RIS itu disampaikan kepada Komite Nasional Pusat sebagai lembaga
perwakilan rakyat di Republik Indonesia dan kemudian resma mendapat persetujuan
Komite Nasional Pusat tersebut pada tanggal 14 Desember 1949. Selanjutnya,
Konstitusi RIS dinyatakan berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berdirinya negara Republik
Indonesia Serikat berdasarkan Konstitusi RIS Tahun 1949 itu, wilayah Republik
Indonesia sendiri masih tetap ada di samping negara federal Republik Indonesia
Serikat. Karena, sesuai ketentuan Pasal 2 Konstitusi RIS, Republik Indonesia
diakui sebagai salah satu negara bagian dalam wilayah Republik Indonesia
Serikat, yaitu mencakup wilayah yang disebut dalam persetujuan Renville. Dalam
wilayah federal, berlaku Konstitusi RIS 1949, tetapi dalam wilayah Republik
Indonesia sebagai salah satu negara bagian tetap berlaku UUD 1945. Dengan
demikian, berlakunya UUD 1945 dalam sejarah awal ketatanegaraan Indonesia, baru
berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa berlakunya Konstitusi RIS, yaitu
tanggal 27 Agustus 1950, ketika UUDS 1950 resmi diberlakukan.
Konstitusi RIS yang disusun dalam
rangka Konperensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949 itu, pada pokoknya
juga dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara. Disadari bahwa lembaga
yang membuat dan menetapkan UUD itu tidaklah representatif. Karena itu, dalam
Pasal 186 Konstitusi RIS ini ditegaskan ketentuan bahwa Konstituante
bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik
Indonesia Serikat. Dari ketentuan Pasal 186 ini, jelas sekali artinya bahwa
Konstitusi RIS 1949 yang ditetapkan di Den Haag itu hanyalah bersifat sementara
saja.
UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA 1950
Bentuk negara federal nampaknya
memang mengandung banyak sekali nuansa politis, berkenaan dengan kepentingan
penjajahan Belanda. Karena itu, meskipun gagasan bentuk negara federal mungkin
saja memiliki relevansi sosiologis yang cukup kuat untuk diterapkan di
Indonesia, tetapi karena terkait dengan kepentingan penjajahan Belanda itu maka
ide feodalisme menjadi tidak populer. Apalagi, sebagai negara yang baru
terbentuk, pemerintahan Indonesia memang membutuhkan tahap-tahap konsolidasi
kekuasaan yang efektif sedemikian rupa sehingga bentuk negara kesatuan dinilai
jauh lebih cocok untuk diterapkan daripada bentuk negara federal.
Karena itu, bentuk negara federal
RIS ini tidak bertahan lama. Dalam rangka konsolidasi kekuasaan itu, mula-mula
tiga wilayah negara bagian, yaitu Negara Republilk Indonesia, Negara Indonesia
Timur dan Negara Sumatera Timur menggabungkan diri menjadi satu wilayah
Republik Indonesia. Sejak itu wibawa Pemerintah Republik Indonesia Serikat
menjadi berkurang, sehingga akhirnya dicapailah kata sepakat antara Pemerintah
Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia untuk kembali
bersatu mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia. Kesepakatan itu
dituangkan dalam satu naskah persetujuan bersama pada tanggal 19 Mei 1950, yang
pada intinya menyepakati dibentuknya kembali NKRI sebagai kelanjutan dari
negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam rangka persiapan ke arah itu,
maka untuk keperluan menyiapkan satu naskah Undang-Undang Dasar, dibentuklah
statu Panitia bersama yang akan menyusun rancangannya. Setelah selesai,
rancangan naskah Undang-Undang Dasar itu kemudian disahkan oleh Badan Pekerja
Komite Nasional Pusat pada tanggal 12 Agustus 1950, dan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950.
Selanjutnya, naskah UUD baru ini diberlakukan secara resmi mulai tanggal 17
Agustus, 1950, yaitu dengan ditetapkannya UU No.7 Tahun 1950. UUDS 1950 ini
bersifat mengganti sehingga isinya tidak hanyamencerminkan perubahan terhadap
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, tetapi menggantikan naskah
Konstitusi RIS itu dengan naskah baru sama sekali dengan nama Undang-Undang
Dasar Sementara Tahun 1950.
Seperti halnya Konstitusi RIS 1949,
UUDS 1950 ini juga bersifat sementara. Hal ini terlihat jelas dalam rumusan
Pasal 134 yang mengharuskan Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah segera
menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu. Akan tetapi, berbeda dari
Konstitusi RIS yang tidak sempat membentuk Konstituante sebagaimana diamanatkan
di dalamnya, amanat UUDS 1950 telah dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga
pemilihan umum berhasil diselenggarakan pada bulan Desember 1955 untuk memilih
anggota Konstituante. Pemilihan Umum ini diadakan berdasarkan ketentuan UU No.
7 Tahun 1953. Undang-Undang ini berisi dua pasal. Pertama berisi ketentuan
perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950; Kedua berisi ketentuan mengenai
tanggal mulai berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu
menggantikan Konstitusi RIS, yaitu tanggal 17 Agustus 1950. Atas dasar UU
inilah diadakan Pemilu tahun 1955, yang menghasilkan terbentuknya Konstituante
yang diresmikan di kota Bandung pada tanggal 10 November 1956.
Majelis Konstituante ini tidak atau
belum sampai berhasil menyelesaikan tugasnya untuk menyusun Undang-Undang Dasar
baru ketika Presiden Soekarno berkesimpulan bahwa Konstituante telah gagal, dan
atas dasar itu ia mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959 yang memberlakukan
kembali UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia selanjutnya. Menurut
Adnan Buyung Nasution dalam disertasi yang dipertahankannya di negeri Belanda,
Konstituante ketika itu sedang reses, dan karena itu tidak dapat dikatakan
gagal sehingga dijadikan alasan oleh Presiden untuk mengeluarkan dekrit. Namun
demikian, nyatanya sejarah ketatanegaraan Indonesia telah berlangsung
sedemikian rupa, sehingga Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 itu telah menjadi
kenyataan sejarah dan kekuatannya telah memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai
UUD negara Republik Indonesia sejak tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang.
Memang kemudian timbul kontroversi
yang luas berkenaan dengan status hukum berlakunya Dekrit Presiden yang
dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden itu sebagai tindakan hukum yang sah
untuk memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Profesor Djoko Soetono
memberikan pembenaran dengan mengaitkan dasar hukum Dekrit Presiden yang diberi
baju hukum dalam bentuk Keputusan Presiden itu dengan prinsip
‘staatsnoodrecht’. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim[8], prinsip
‘staatsnoodrecht’ itu pada pokoknya sama dengan pendapat yang dijadikan
landasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara masa Orde Baru untuk
menetapkan Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966. Adanya istilah Orde Baru itu saja
menggambarkan pendirian MPRS bahwa masa antara tahun 1959 sampai tahun 1965
adalah masa Orde Lama yang dinilai tidak mencerminkan pelaksanaan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Oleh karena itu, MPRS mengeluarkan TAP
No.XX/MPRS/1966 tersebut dengan asumsi bahwa perubahan drastis perlu dilakukan
karena adanya prinsip yang sama, yaitu keadaan darurat (staatsnoodrecht).
Terlepas dari kontroversi itu, yang
jelas, sejak Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang, UUD 1945 terus berlaku dan
diberlakukan sebagai hukum dasar. Sifatnya masih tetap sebagai UUD sementara.
Akan tetapi, karena konsolidasi kekuasaan yang makin lama makin terpusat di masa
Orde Baru, dan siklus kekuasaan mengalami stagnasi yang statis karena pucuk
pimpinan pemerintahan tidak mengalami pergantian selama 32 tahun, akibatnya UUD
1945 mengalami proses sakralisasi yang irrasional selama kurun masa Orde Baru
itu. UUD 1945 tidak diizinkan bersentuhan dengan ide perubahan sama sekali.
Padahal, UUD 1945 itu jelas merupakan UUD yang masih bersifat sementara dan
belum pernah dipergunakan atau diterapkan dengan sungguh-sungguh. Satu-satunya
kesempatan untuk menerapkan UUD 1945 itu secara relatif lebih murni dan
konsekuen hanyalah di masa Orde baru selama 32 tahun. Itupun berakibat
terjadinya stagnasi atas dinamika kekuasaan. Siklus kekuasaan berhenti,
menyebabkan Presiden Soeharto seakan terpenjara dalam kekuasaan yang
dimilikinya, makin lama makin mempribadi secara tidak rasional. Itulah akibat
dari diterapkannya UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Perubahan UUD 1945 merupakan salah
satu tuntutan yang paling mendasar dari gerakan reformasi yang berujung pada
runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat tidak lagi melihat faktor penyebab otoritarian Orde Baru hanya pada
manusia sebagai pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem hukum dan
ketatanegaraan. Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya
manusia adalah suatu hal yang pasti. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945
bahkan telah dinyatakan oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18
Agustus 1945 .
Gagasan perubahan UUD 1945 menemukan
momentumnya di era reformasi. Pada awal masa reformasi, Presiden membentuk Tim
Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang didalamnya terdapat Kelompok
Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan. Kelompok tersebut menghasilkan
pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan mengingat
kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945. Gagasan perubahan UUD 1945
menjadi kenyataan dengan dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di
MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945 yaitu:
1. sepakat untuk tidak
mengubah Pembukaan UUD 1945
2. sepakat untuk
mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. sepakat untuk mempertahankan
sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul
memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
4. sepakat untuk
memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam
pasal-pasal UUD 1945; dan
5. sepakat untuk
menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan
UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda
Sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang
Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi
Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang
perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan
Komisi Konstitusi.
Perubahan
Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada
tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada tahun 2002. Dalam empat kali perubahan
itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan
dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif,
perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi
proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap
dinamakan sebagai Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan
Pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI yang diselenggarakan antara
tanggal 12 sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan
Pertama itu tepatnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut
sebagai tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan
romantisme di sebagian kalangan masyarakat yang cenderung menyakralkan atau
menjadikan UUD 1945 bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh
ide perubahan sama sekali. Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9
pasal UUD 1945, yaitu atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15,
Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan
Pasal 21. Kesembilan pasal yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut
seluruhnya berisi 16 ayat atau dapat disebut ekuivalen dengan 16 butir
ketentuan dasar.
Gelombang
perubahan atas naskah UUD 1945 terus berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan
pada tahun 2000, MPR-RI sekali lagi menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada
tanggal 18 Agustus 2000. Cakupan materi yang diubah pada naskah Perubahan Kedua
ini lebih luas dan lebih banyak lagi, yaitu mencakup 27 pasal yang tersebar
dalam 7 bab, yaitu Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan
Perwakilan Rakyat, Bab IXA tentang Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara
dan Penduduk, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Bab XII tentang Pertahanan dan
Keamanan Negara, dan Bab XV tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta
Lagu Kebangsaan. Jika ke-27 pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir
ketentuan yang diaturnya, maka isinya mencakup 59 butir ketentuan yang
mengalami perubahan atau bertambah dengan rumusan ketentuan baru sama sekali.
Setelah
itu, agenda perubahan dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001
yang berhasil menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9
November 2001. Bab-bab UUD 1945 yang mengalami perubahan dalam naskah Perubahan
Ketiga ini adalah Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V
tentang Kementerian Negara, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB
tentang Pemilihan Umum, dan Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Seluruhnya terdiri atas 7 bab, 23 pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat. Dari
segi jumlahnya dapat dikatakan naskah Perubahan Ketiga ini memang paling luas
cakupan materinya. Tapi di samping itu, substansi yang diaturnya juga sebagian
besar sangat mendasar. Materi yang tergolong sukar mendapat kesepakatan
cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang terdahulu. Karena itu,
selain secara kuantitatif materi Perubahan Ketiga ini lebih banyak muatannya,
juga dari segi isinya, secara kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat
dikatakan Sangay mendasar pula.
Perubahan
yang terakhir dalam rangkaian gelombang reformasi nasional sejak tahun 1998
sampai tahun 2002, adalah perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR-RI
tahun 2002. Pengesahan naskah Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10
Agustus 2002. Dalam naskah Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa (a)
Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah
diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan perubahan keempat ini
adalah Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan
pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden
pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli
1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan
Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan kalimat
“Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis
permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan”; (c) pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3
ayat (2) dan (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) penghapusan judul Bab IV tentang
Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya
ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan negara; (e) pengubahan dan/atau
penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat
(1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 32 ayat (1) dan ayat
(2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat
(3) dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara
keseluruhan naskah Perubahan Keempat UUD 1945 mencakup 19 pasal, termasuk satu
pasal yang dihapus dari naskah UUD. Ke-19 pasal tersebut terdiri atas 31
butir ketentuan yang mengalami perubahan, ditambah 1 butir yang dihapuskan dari
naskah UUD. Paradigma pemikiran atau pokok-pokok pikiran yang terkandungdalam
rumusan pasal-pasal UUD 1945 setelah mengalami empat kali perubahan itu
benar-benar berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli ketika
UUD 1945 pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Bahkan dalam Pasal
II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan, “Dengan ditetapkannya
perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian,
jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang
selama ini dijadikan lampiran tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi
diakui sebagai bagian dari naskah UUD. Jikapun isi Penjelasan itu dibandingkan
dengan isi UUD 1945 setelah empat kali berubah, jelas satu sama lain sudah
tidak lagi bersesuaian, karena pokok pikiran yang terkandung di dalam keempat
naskah perubahan itu sama sekali berbeda dari apa yang tercantum dalam
Penjelasan UUD 1945 tersebut.
Daftar Pustaka ;
Jimly Asshidiqie, Konstitusi &
Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal.1
A.G. Pringgodigdo, “Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia”, majalah Hukum dan
Masyarakat, Tahun III No.2, Mei 1958, hal. 3-26.
Republik Indonesia, Risalah Sidang
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945,
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1995, hal. xxv.
http://vahzhart.blogspot.com/2012/04/sejarah-lahir-dan-perkembangan.html
terima kasih gan atas informasi nya
BalasHapusjangan lupa kunjungi juga situs kami di
http://stisitelkom.ac.id
thanks.... postingan yang bagus.
BalasHapusKunjungi blog ku juga ya.....
and follow blog ku.
www.giantmalikh.blogspot.com
bagusss
BalasHapusTül perde modelleri
BalasHapusNumara onay
Turkcell mobil ödeme bozdurma
nft nasıl alınır
Ankara Evden Eve Nakliyat
Trafik Sigortasi
dedektör
web sitesi kurma
AŞK KİTAPLARI
Smm panel
BalasHapussmm panel
İS İLANLARİ
instagram takipçi satın al
hirdavatci
beyazesyateknikservisi.com.tr
servis
jeton hile indir
kadıköy vestel klima servisi
BalasHapusmaltepe bosch klima servisi
beykoz vestel klima servisi
üsküdar vestel klima servisi
beykoz bosch klima servisi
üsküdar bosch klima servisi
beykoz arçelik klima servisi
üsküdar arçelik klima servisi
pendik samsung klima servisi