ISLAM DAN NEGARA ORDE BARU
Pada awal pemerintahan Orde Baru, dikalangan aktivis Islam timbul optimisme untuk kembali memainkan peranan dominan dalam politik Nasional, mengingat sumbangan mereka dalam meruntuhkan rezim Orde Lama. Kerja sama antara ABRI, organisasi mahasiswa, dan kelompok Islam dalam menjatuhkan PKI dan Bung Karno setelah terjadinya G 30 S/PKI memberikan indikasi bahwa Islam mendapatkan legitimasi dalam peran politiknya. Tetapi optimisme itu buyar ketika ABRI menyatakan PKI dan Masyumi sebagai partai terlarang, karena dianggap pernah menyeleweng dari Pancasila dan UUD 1945. Setelah Masyumi dinyatakan sebagai partai terlarang, kedudukan dan peranan politik Islam berada di posisi pinggiran.
Walaupun secara politis peranan umat Islam bersifat marginal, sampai saat ini mereka adalah kelompok strategis yang banyak dipertimbangkan, seperti terlihat pada seiap pemilu, isu-isu yang menonjol menjadi tema kampanye selalu berkisar tentang Islam.
Islam dan Negara
Secara etimologis, kata Islam berasal dari bahasa Arab dari bentuk verba aslama yang berarti ia menundukkan dirinya atau ia masuk ke dalam kedamaian. Selain itu Islam juga berarti “damai” dalam dan luar.
Dalam Islam tidak ada pemisahan antara urusan agama dan urusan poltik. Pengertiannya, politik sebagai suatu kegiatan harus dilakukan dalam kerangka sistem nilai islam.
Masalah politik dan pentadbiran N\negara adalah termasuk dalam urusan keduniaan yang bersifat umum. Panduan al-Quran juga al-Sunnah bersifat umum. Oleh yang demikian permasalahan politik termasuk dalam urusan ijtihad umat Islam. Tujuan utama atau cendikiawan Islam adalah berusaha secara terus menrus menjadikan dasar al-Quran itu menjadi sistem yang kongkret supaya dapat diterjemahkan ide dalam pemerintahan dan pentadbiran negara di sepanjang zaman.
Pembentukan Format Baru Politik Indonesia
Orde Baru merupakan suatu orde politik yang berlainan sama sekali dengan orde politik sebelumnya. Format politik orba ini mencoba menciptakan keseimbangan antara konflik dan consensus.
Kalau pada masa Orde Lama pembangunan ditekankan pada bidang politik, maka Orde Baru mengubahnya menjadi ekonomi. Dalam bidang politik, rezim yang berkuasa dihadapkan pada upaya menciptakan sebuah format politik baru. Upaya ini secara praktis bersamaan dengan tumbuhnya optimisme masyarakat sekeluarnya mereka dari suatu masa yang merugikan. Optimisme akan kehidupan baru yang lebih baik, lebih demokratis, dan lebih aman.
1. Militer sebagai Kekuatan Politik Dominan
Secara teoritis, keterlibatan militer dalam politik merupakan topik yang menarik bagi para penganut politik. Kehadiran militer dalam perpolitikan nasional sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan Indonesia. Salah satu karakteristik militer Indonesia adalah berasal dari gerakan perlawanan rakyat yang pada saat itu sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan. Dengan demikian, militer Indonesia bukan bentukan politisi sipil, bukan pila warisan penjajah Belanda dan Jepang. Bahkan bersama politisi sipil (yang berjuang lewat jalur diplomasi), militer bergandeng tangan (dengan menggunakan senjata), mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda yang bermaksud menjajah kembali. Karakteristik militer Indonesia adalah “prajurit perang” seklaigus “pejuang prajurit”.
2. Pembangunan Ekonomi sebagai Prioritas
Para pendukung Orde Baru sepakat untuk memprioritaskan pembangunan ekonomi. Pilihan ini diambil sesuai dengan political will pemerintah untuk mengalihkan orientasi pembangunan pada masa Orde Lama yang ideologis-politis kepada orientasi pragmatis. Pilihan ini tepat untuk mengantisipasi gejolak masyarakat yang sekian lama hidup melarat dan menyimpan harapan baru dengan datangnya Orde Baru.
Militer yang menjadi unsur kekuatan dominan Orde Baru berkeyakinan, kesalahan politik sistem sebelumnya adalah terlalu berperannya partai-partai politik yang terpolarisasi secara ideologis dan dipusatkannya perhatian pada pembangunan politik. Militer memandang perlu menekankan pembangunan ekonomi pada masa Orde baru. Karena pembangunan ekonomi hanya bisa berlangsung dalam keadaan politik yang stabil, maka pembangunan politik menjadi alat pencapaian stabilitas itu.
3. Stabilitas Politik
Pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utama pembangunan membutuhkan prasyarat-prasyarat tertentu. Di bidang politik, prasyarat itu adalah stabilitas politik, yang pada dua dekade pasca kemerdekaan merupakan barang mahal dan sulit tercipta. Inilah yang menjadi sasaran utama pembangunan politik sehingga tekanannya adalah pada pendekatan keamanan (security approach), bukan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).
Pencapaian dan pemeliharaan stabilitas nasional, dengan penglaman politik sebelumnya, mengahruskan pemerintah dlam mengambil langkah-langkah berikut :
1) Menciptakan suatu tertib politik yang bebas dari konflik ideologis-politis.
2) Membatasi partisipasi politik yang pluralistik
Terbentuknya Hegemonic Party System
Pemerintah Orde Baru yang didominasi oleh militer memiliki persepsi yang khas terhadap partai, yaitu sebagai “pasang dalam memperoleh keuasaan, pemberi pandangan dunia yag lain (ideology, pen.) dan penggerak kekerasan rakyat”.
Sejak pemilu pertama dalam masa Orde Baru pada tahun 1971 terbentuklah sistem kepartaian yang Hegemonic Party System (HPS). Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh La Palombra dan Weiner (1966). HPS tercipta jika suatu parpol mendominasi proses politik suatu Negara dalam dikurun waktu yag lama. Lebih jauh Wiatr (1967, 1970), berdasarkan penelitiannya di Polandia, mengatakan bahwa HPS terletak diantara sistem partai dominan dan satu partai. Di dalam HPS eksistensi partai-partai dan organisasi sosial diakui tetapi peranannya dibuat seminimal mungkin, terutama dalam pembentukan pendapat umum.
Organisasi-Orgasnisasi Sosial Keislaman
1. Muhammadiyah
Dalam bidang politik, Muhammadiyah memperlihatkan sikap yang beragam suatu saat tampil sebagai pihak yang sangat kritis terhadap pemerintah, tetapi pada saat yang lain tampil sebagai pendukung, bahkan ikut dalam pemerintahan. Pada suatu saat, Muhammadiyah menjadi subordinatif kekuatan pilitik tertentu, dan pada saat yang lain menjadi organisasi independent yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan parpol apapun. Paham keagamaannya adalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Muhammadiyah bukanlah organisasi politik dan tidak akan berubah menjadi partai politik. Akan tetapi, tidak berarti Muhammadiyah buta politik. Muhammadiyah terus bergerak dalam urusan kenegaraan dan pemerintahan, namun dalam batas-batas sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf dan nahi munkar, dan tidak bermaksud menjadi partai politik.
2. Nahdatul Ulama
Pada masa Orde Baru, NU memperlihatkan dinamika sosial-politik yang agak berlainan dengan masa-masa sebelumnya. Dalam pemilu 1971, NU berhasil menduduki posisi kedua dibawah GOLKAR dan diatas Parmusi (nama lain Masyumi). Paham teologi yang dianut NU adalah Ahlussunnah wal Jamaah.
Menurut paham Ahlussunnah wal Jamah,
kewajiban mematuhi penguasa yang sah adalah sebagian dari iman. Sepanjang
pemerintah tidak mengajak kepada kekufuran, tidak ada alasan untuk membangkang
terhadap pemerintah. Dengan demikian, dalam “kamus politik” NU tidak ada kata
bughat (memberontak). Jika NU menganggap pemerintah melakukan kesalahan, cara
memperbaikinya adalah menegurnya dengan cara yang baik dan mengajak berdialog
sebagai perwujudan wajadilhum billati hiya ahsan (mengajak kepada kebaikan
dengan cara sebaik mungkin)
3. Majelis Ulama Indonesia
Salah satu kebijakan Orde Baru, seperti juga Orde Lama adalah melakukan marjinalisasi peranan agama dalam politik formal. Misalnya lewat desakralisasi parpol. Peranan ulama diakui tetapi terbatas untuk mengurus soal-soal keagamaan. Berkurangnya peran ulama dalam politik formal membuat mereka mencari wadah baru.
Sebagai upaya penjinakan “Islam politik”, pemerintah senantiasa memberikan penghargaan tinggi dan keuangan kepada MUI, akan tetapi di pihak lain MUI sering mangalami tekanan untuk membenarkan politik dari sudut agama. Ketegangan antara pemerintah dan MUI sering terjadi ketika kepentingan kedua belah pihak tidak dapat dipertemukan.
4. Pesantren
Dalam konteks kekuasaan, pada saat mereka berhadapan dengan realitas sosial politik, yang diutamakan adalah integrasi umat daripada keharusan berlakunya sistem syari’ah dalam sistem kekuasaan
Hubungan Islam dan Negara Orde Baru
Hubungan antagonis antara Negara Orde Baru dengan kelompok Islam dapat dilihat dari kecurigaan yang berlebih dan pengekangan kekuatan Islam yang berlebihan yang dilakukan Presiden Soeharto. Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap kalangan nasionalis sekuler terhadap kelompok Islam, khususnya di era 1950-an.
Kecenderungan akomodatif negara terhadap Islam lebih disebabkan oleh pemahaman negara terhadap perubahan sikap politik umat Islam terhadap kebijakan Negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas tunggal Pancasila. Perubahan sikap umat Islam pada paruh kedua 1980-an, dari menentang menjadi menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bersinergi dengan sejumlah kebijakan Orde Baru yang menguntungkan umat Islam pada masa selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 1966.
Esposito, John L., Demokrasi di Negara-Negara Muslim, Bandung: Mizan, 1999.
Esposito, John L., Islam dan Perubahan Sosial Politik di Negara Sedang Berkembang, Yogyakarta: PLP2M, 1985.
Hikam, Muhammad AS., Islam Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, Jakarta: Erlangga, 2000.
Rozak, Abdul, dkk., (ed.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE Syarif Hidayatullah, 2000.
http://edwaneloenks.blogspot.com/2012/03/islam-dan-negara-dalam-politik-orde.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar