Minggu, 03 Juni 2012

ISLAM DAN NEGARA ORDE BARU


ISLAM DAN NEGARA ORDE BARU

Pada awal pemerintahan Orde Baru, dikalangan aktivis Islam timbul optimisme untuk kembali memainkan peranan dominan dalam politik Nasional, mengingat sumbangan mereka dalam meruntuhkan rezim Orde Lama. Kerja sama antara ABRI, organisasi mahasiswa, dan kelompok Islam dalam menjatuhkan PKI dan Bung Karno setelah terjadinya G 30 S/PKI memberikan indikasi bahwa Islam mendapatkan legitimasi dalam peran politiknya. Tetapi optimisme itu buyar ketika ABRI menyatakan PKI dan Masyumi sebagai partai terlarang, karena dianggap pernah menyeleweng dari Pancasila dan UUD 1945. Setelah Masyumi dinyatakan sebagai partai terlarang, kedudukan dan peranan politik Islam berada di posisi pinggiran.

Walaupun secara politis peranan umat Islam bersifat marginal, sampai saat ini mereka adalah kelompok strategis yang banyak dipertimbangkan, seperti terlihat pada seiap pemilu, isu-isu yang menonjol menjadi tema kampanye selalu berkisar tentang Islam.


Islam dan Negara

Secara etimologis, kata Islam berasal dari bahasa Arab dari bentuk verba aslama yang berarti ia menundukkan dirinya atau ia masuk ke dalam kedamaian. Selain itu Islam juga berarti “damai” dalam dan luar.

Dalam Islam tidak ada pemisahan antara urusan agama dan urusan poltik. Pengertiannya, politik sebagai suatu kegiatan harus dilakukan dalam kerangka sistem nilai islam.

Masalah politik dan pentadbiran N\negara adalah termasuk dalam urusan keduniaan yang bersifat umum. Panduan al-Quran juga al-Sunnah bersifat umum. Oleh yang demikian permasalahan politik termasuk dalam urusan ijtihad umat Islam. Tujuan utama atau cendikiawan Islam adalah berusaha secara terus menrus menjadikan dasar al-Quran itu menjadi sistem yang kongkret supaya dapat diterjemahkan ide dalam pemerintahan dan pentadbiran negara di sepanjang zaman.


Pembentukan Format Baru Politik Indonesia

Orde Baru merupakan suatu orde politik yang berlainan sama sekali dengan orde politik sebelumnya. Format politik orba ini mencoba menciptakan keseimbangan antara konflik dan consensus.

Kalau pada masa Orde Lama pembangunan ditekankan pada bidang politik, maka Orde Baru mengubahnya menjadi ekonomi. Dalam bidang politik, rezim yang berkuasa dihadapkan pada upaya menciptakan sebuah format politik baru. Upaya ini secara praktis bersamaan dengan tumbuhnya optimisme masyarakat sekeluarnya mereka dari suatu masa yang merugikan. Optimisme akan kehidupan baru yang lebih baik, lebih demokratis, dan lebih aman.

1. Militer sebagai Kekuatan Politik Dominan

Secara teoritis, keterlibatan militer dalam politik merupakan topik yang menarik bagi para penganut politik. Kehadiran militer dalam perpolitikan nasional sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan Indonesia. Salah satu karakteristik militer Indonesia adalah berasal dari gerakan perlawanan rakyat yang pada saat itu sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan. Dengan demikian, militer Indonesia bukan bentukan politisi sipil, bukan pila warisan penjajah Belanda dan Jepang. Bahkan bersama politisi sipil (yang berjuang lewat jalur diplomasi), militer bergandeng tangan (dengan menggunakan senjata), mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda yang bermaksud menjajah kembali. Karakteristik militer Indonesia adalah “prajurit perang” seklaigus “pejuang prajurit”.

2. Pembangunan Ekonomi sebagai Prioritas

Para pendukung Orde Baru sepakat untuk memprioritaskan pembangunan ekonomi. Pilihan ini diambil sesuai dengan political will pemerintah untuk mengalihkan orientasi pembangunan pada masa Orde Lama yang ideologis-politis kepada orientasi pragmatis. Pilihan ini tepat untuk mengantisipasi gejolak masyarakat yang sekian lama hidup melarat dan menyimpan harapan baru dengan datangnya Orde Baru.
Militer yang menjadi unsur kekuatan dominan Orde Baru berkeyakinan, kesalahan politik sistem sebelumnya adalah terlalu berperannya partai-partai politik yang terpolarisasi secara ideologis dan dipusatkannya perhatian pada pembangunan politik. Militer memandang perlu menekankan pembangunan ekonomi pada masa Orde baru. Karena pembangunan ekonomi hanya bisa berlangsung dalam keadaan politik yang stabil, maka pembangunan politik menjadi alat pencapaian stabilitas itu.

3. Stabilitas Politik

Pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utama pembangunan membutuhkan prasyarat-prasyarat tertentu. Di bidang politik, prasyarat itu adalah stabilitas politik, yang pada dua dekade pasca kemerdekaan merupakan barang mahal dan sulit tercipta. Inilah yang menjadi sasaran utama pembangunan politik sehingga tekanannya adalah pada pendekatan keamanan (security approach), bukan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).

Pencapaian dan pemeliharaan stabilitas nasional, dengan penglaman politik sebelumnya, mengahruskan pemerintah dlam mengambil langkah-langkah berikut :

1) Menciptakan suatu tertib politik yang bebas dari konflik ideologis-politis.
2) Membatasi partisipasi politik yang pluralistik

Terbentuknya Hegemonic Party System

Pemerintah Orde Baru yang didominasi oleh militer memiliki persepsi yang khas terhadap partai, yaitu sebagai “pasang dalam memperoleh keuasaan, pemberi pandangan dunia yag lain (ideology, pen.) dan penggerak kekerasan rakyat”.
Sejak pemilu pertama dalam masa Orde Baru pada tahun 1971 terbentuklah sistem kepartaian yang Hegemonic Party System (HPS). Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh La Palombra dan Weiner (1966). HPS tercipta jika suatu parpol mendominasi proses politik suatu Negara dalam dikurun waktu yag lama. Lebih jauh Wiatr (1967, 1970), berdasarkan penelitiannya di Polandia, mengatakan bahwa HPS terletak diantara sistem partai dominan dan satu partai. Di dalam HPS eksistensi partai-partai dan organisasi sosial diakui tetapi peranannya dibuat seminimal mungkin, terutama dalam pembentukan pendapat umum.

Organisasi-Orgasnisasi Sosial Keislaman

1. Muhammadiyah

Dalam bidang politik, Muhammadiyah memperlihatkan sikap yang beragam suatu saat tampil sebagai pihak yang sangat kritis terhadap pemerintah, tetapi pada saat yang lain tampil sebagai pendukung, bahkan ikut dalam pemerintahan. Pada suatu saat, Muhammadiyah menjadi subordinatif kekuatan pilitik tertentu, dan pada saat yang lain menjadi organisasi independent yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan parpol apapun. Paham keagamaannya adalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Muhammadiyah bukanlah organisasi politik dan tidak akan berubah menjadi partai politik. Akan tetapi, tidak berarti Muhammadiyah buta politik. Muhammadiyah terus bergerak dalam urusan kenegaraan dan pemerintahan, namun dalam batas-batas sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf dan nahi munkar, dan tidak bermaksud menjadi partai politik.

2. Nahdatul Ulama

Pada masa Orde Baru, NU memperlihatkan dinamika sosial-politik yang agak berlainan dengan masa-masa sebelumnya. Dalam pemilu 1971, NU berhasil menduduki posisi kedua dibawah GOLKAR dan diatas Parmusi (nama lain Masyumi). Paham teologi yang dianut NU adalah Ahlussunnah wal Jamaah.
Menurut paham Ahlussunnah wal Jamah, kewajiban mematuhi penguasa yang sah adalah sebagian dari iman. Sepanjang pemerintah tidak mengajak kepada kekufuran, tidak ada alasan untuk membangkang terhadap pemerintah. Dengan demikian, dalam “kamus politik” NU tidak ada kata bughat (memberontak). Jika NU menganggap pemerintah melakukan kesalahan, cara memperbaikinya adalah menegurnya dengan cara yang baik dan mengajak berdialog sebagai perwujudan wajadilhum billati hiya ahsan (mengajak kepada kebaikan dengan cara sebaik mungkin)

3. Majelis Ulama Indonesia

Salah satu kebijakan Orde Baru, seperti juga Orde Lama adalah melakukan marjinalisasi peranan agama dalam politik formal. Misalnya lewat desakralisasi parpol. Peranan ulama diakui tetapi terbatas untuk mengurus soal-soal keagamaan. Berkurangnya peran ulama dalam politik formal membuat mereka mencari wadah baru.
Sebagai upaya penjinakan “Islam politik”, pemerintah senantiasa memberikan penghargaan tinggi dan keuangan kepada MUI, akan tetapi di pihak lain MUI sering mangalami tekanan untuk membenarkan politik dari sudut agama. Ketegangan antara pemerintah dan MUI sering terjadi ketika kepentingan kedua belah pihak tidak dapat dipertemukan.

4. Pesantren

Dalam konteks kekuasaan, pada saat mereka berhadapan dengan realitas sosial politik, yang diutamakan adalah integrasi umat daripada keharusan berlakunya sistem syari’ah dalam sistem kekuasaan


Hubungan Islam dan Negara Orde Baru

Hubungan antagonis antara Negara Orde Baru dengan kelompok Islam dapat dilihat dari kecurigaan yang berlebih dan pengekangan kekuatan Islam yang berlebihan yang dilakukan Presiden Soeharto. Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap kalangan nasionalis sekuler terhadap kelompok Islam, khususnya di era 1950-an.
Kecenderungan akomodatif negara terhadap Islam lebih disebabkan oleh pemahaman negara terhadap perubahan sikap politik umat Islam terhadap kebijakan Negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas tunggal Pancasila. Perubahan sikap umat Islam pada paruh kedua 1980-an, dari menentang menjadi menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bersinergi dengan sejumlah kebijakan Orde Baru yang menguntungkan umat Islam pada masa selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA


Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 1966.

Esposito, John L., Demokrasi di Negara-Negara Muslim, Bandung: Mizan, 1999.
Esposito, John L., Islam dan Perubahan Sosial Politik di Negara Sedang Berkembang, Yogyakarta: PLP2M, 1985.

Hikam, Muhammad AS., Islam Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, Jakarta: Erlangga, 2000.

Rozak, Abdul, dkk., (ed.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE Syarif Hidayatullah, 2000.
http://edwaneloenks.blogspot.com/2012/03/islam-dan-negara-dalam-politik-orde.html

ISLAM DAN DEMOKRASI

ISLAM DAN DEMOKRASI
Islam dan demokrasi, setidaknya terdapat tiga pandangan tentang: 

Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi karena Islam merupakan sistem politik yang mandiri (self-suffcient). Dalam bahasa politik muslim, Islam sebagai agama yang kaffaah (sempurna) tidak saja mengatur persoalan keimanan (akidah) dan ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusia termasuk aspek kehidupan bernegara.

Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi jika demokrasi didefinisikan secara procedural seperti dipahami dan dipraktikkan di Negara-negara Barat. Kelompok kedua ini menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam. Tetapi, mengakui adanya perbedaan antara Islam dan demokrasi. Bagi kelompok ini, Islam merupakan sistem politik demokratis kalau demokrasi didefinisikan secara substantif, yakni kedaulatan di tangan rakyat dan negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat ini.

Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokrasi seperti yang diperaktikkan negara-negara maju. Islam di dalam dirinya demokratis tidak hanya karena prinsip syura (musyawarah), tetapi juga karena adanya konsep ijtihad dan ijma (konsensus). Di Indonesia pandangan ketiga ini lebih dominan karena demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem pemerintahan Indonesia dan negara-negara muslim lainnya.

Definisi Demokrasi
Demokrasi adalah sebuah tatanan Negara /pemerintahan yang bersumber dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. (benyamin Franklin). Demokrasi memberikan kepada manusia dua hal :
1.    Hak membuat hukum
2.    Hak memilih penguasa

Demokrasi dalam berbagai bidang

MEMAHAMI DEMOKRASI DALAM PEMBUATAN HUKUM :
1.        Dalam Islam membuat hukum adalah haram. Karena yang berhak membuat hukum hanya Allah, bukan manusia 
         Firman Allah SWT (artinya) :  
         "Menetapkan hukum hanyalah hak Allah." (QS Al-An'aam : 57) 
         Walaupun ayat tersebut bersifat umum, tapi itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara frontal  dengan Islam. Pada titik itulah, demokrasi disebut sebagai sistem kufur. Sebab  sudah jelas,memberi hak kepada manusia untuk membuat hukum yang bertentangan dengan hukum syara’ adalah suatu kekufuran. 
         Firman Allah SWT (artinya) : 
         "Barangsiapa yang tidak menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir." (QS Al-Maa`idah : 44)
 
2.        Menentukan kesepakatan (musyawarah)
a.    Bila sudah ada hukum nya maka memusyawarahkan nya haram. Manusia hanya boleh membahas mengenai masalah teknis saja.
b.    Bila yang dimusyawarahkan itu berkaitan dengan masalah Uslub (Teknis) maka boleh pendapat manusia diminta.
         contoh : dalam musyawarah itu akan dibahas masalah status minuman kemaksiatan, maka  dalam hal ini tidak boleh ada pendapat manusia yang mendukung . Sebab statusnya sudah jelas Haram, yang perlu dimusyawarakan adalah masalah uslub (teknis) pelarangannya dilapangan, misalnya siapa bagian operasi sweping di toko-toko minuman, siapa bagian memburu produsennya, siapa yang menghukum pelakunya dll.  
 
Contoh musyawarah (memasukkan pendapat orang lain) yang dilakukan nabi :
a.         Rasulullah saw pada waktu menentukan strategi di Perang Badar Al Kubra, Beliau berpendapat untuk memenangkan pertempuran pasukan harus menguasai tempat tertentu, tetapi kemudian ada seorang sahabat (Khubab bin Mundhir) yang menanyakan kepada beliau apakah hal ini pendapat beliau ataukah wahyu dari Allah. Bila wahyu maka tidak akan dibantah, tetapi bila hal ini pendapat nabi, maka Khubab mengusulkan untuk menempati sebuah wadi (oase) di medan Badar. Rasulullah kemudian menjelaskan ini bahwa hal ini adalah pendapat beliau pribadi, dan kemudian beliau menarik pendapatnya dan kemudian menerima pendapat Khubab sebab Khubab adalah orang yang tinggal di daerah tersebut dan merupakan orang yang paling kenal dengan medan pertempuran, seraya mengabaikan pendapat pribadi dan pendapat shahabat-shahabat yang lain.  
b.         Kita dapat mengambil ibroh dari kisah terjadinya perang Uhud. Rasulullah sebenarnya menginginkan pasukan bertahan di dalam kota, akan tetapi mayoritas shahabat (terutama shahabat-shahabat yang usianya masih muda) memilih menunggu musuh di luar kota Madinah. Karena suara mayoritas menghendaki menunggu musuh di luar kota, maka Rasulpun memutuskan untuk menunggu musuh di luar kota, walaupun beliau sendiri menginginkan di dalam kota. Bertahan dalam kota atau menunggu musuh di luar kota adalah masalah-masalah teknis (strategi) pertempuran yang diketahui oleh banyak orang, karena semua shahabat adalah penduduk kota Medinah,yang mengerti seluk beluk kota Medinah. Jadi masalah betahan di dalam kota atau menunggu musuh di luar kota bukan masalah wahyu yang sudah dinash. Dari sinilah kita bisa mengambil ibroh bahwa dalam masalah-masalah urusan teknis yang telah diketahui banyak orang, maka boleh diambil suara terbanyak. 

MEMAHAMI DEMOKRASI DALAM MEMILIH PEMIMPIN :
System memilih penguasa/ kepala negara hal tersebut masih dapat didiskusikan dan bersifat furu’ (cabang).
Alasan :Rasul tidak pernah menentukan secara jelas bagaimanakah teknis memilih khalifah/pemimpin negara. Begitu juga peralihan kekuasaan dari satu khalifah ke khalifah yang lain semasa banyak sahabat masih  hidup, sehingga menjadi Ijma' shahabat bahwa boleh menggunakan beberapa uslub untuk memilih khalifah atau kepala negara. Dengan demikian dalam memilih siapakah calon kepala negara/Khalifah boleh dengan banyak teknis dalam hal ini mengambil suara mayoritas juga dapat dilakukan dan menggunakan Ahlul hali wal aqdi (parlemen) Juga dapat dilakukan . Jadi untuk memilih calon kepala negara (khalifah) dalam Islam bisa dicari dengan uslub (teknis) pemilihan umum.

Persamaan dan Perbedaan Islam dan Demokrasi

Persamaan Islam & Demokrasi 
Dr. Dhiyauddin ar Rais mengatakan, Ada beberapa persamaan yang mempertemukan Islam dan demokrasi. Namun, perbedaannya lebih banyak. Persamaannya:
1.     Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas pemisahan kekuasaan, itu pun sudah ada di dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai sistem terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat sebagai satu kesatuan dan terpisah dari kekuasaan Imam atau Presiden. Pembuatan Undang-Undang atau hukum didasarkan pada alQuran dan Hadist, ijma, atau ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari Imam, bahkan kedudukannya lebih tinggi dari Imam. Adapun Imam harus menaatinya dan terikat UU. Pada hakikatnya, Imamah (kepemimpinan) ada di kekuasaan eksekutif yang memiliki kewenangan independen karena pengambilan keputusan tidak boleh didasarkan pada pendapat atau keputusan penguasa atau presiden, jelainkan berdasarka pada hukum-hukum syariat atau perintah Allah Swt.
2.    Demokrasi seperti definisi Abraham Lincoln: dari rakyat dan untuk rakyat pengertian itu pun ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif.
3.    Demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu (misalnya, asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan). Semua hak tersebut dijamin dalam Islam.
 
Perbedaan Islam & Demokrasi
1.    Demokrasi yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi fanatisme. Adapun menurut Islam, umat tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan akidah, pemikiran dan perasaan. Siapa pun yang mengikuti Islam, ia masuk salah satu negara Islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan lain. Dengan demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat internasional
2.    tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap masa adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi ditujukan hanya untuk kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan upaya pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan, peningkatan kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi Islam selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi (materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan fundamental.
3.    kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan, kezaliman atau kemaksiatannya. Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat sehingga rakyat tidak dapat bertindak melebihi batasan-batasan syariat, alQuran dan asSunnah tanpa mendapat sanksi.

Pandangan Ulama tentang demokrasi
 
Yusuf al-Qardhawi 
Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya:
 - Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya. 
- Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. 
- Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan. 
- Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas. 
- Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam. 
 
Salim Ali al-Bahnasawi 
Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi sebagai berikut: 
-  Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah. 
- Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya. 
- Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36). 
- Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen. 
 
PEMILU & PEMUNGUTAN SUARA
Ada yang beranggapan bahwa Pemungutan suara atau Pemilu adalah bentuk perampasan hak Allah Swt sebagai Hakim karena dalam Pemilu keputusan ditentukan manusia, bukan Allah. Pernyataan ini tidak benar karena :
1.    kita bicara tentang Pemilu di negeri muslim: kandidatnya muslim, pemilihnya pun muslim dan keterlibatan nonmuslim dalam proses itu sangat tidak signifikan.
2.    adanya campur tangan namusia untuk menentukan jalan hidupnya selama masih dalam kaidah umum nash syariat Islam. Allah Swt berfirman, ”hadirkanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu”.(QS ath Thalaq:2). ”Jika kamu khawatir adanya perselisihan antara keduanya, hendaklah kamu hadirkan seorang hakim dari keluarga suami dan seorang hakim dari keluarga isteri”. (QS an Nisa:35).
3.    jika kita perhatikan dengan seksama Pemilu atau pemungutan suara menurut Islam adalah pemberian kesaksian terhadap kelayakan calon pejabat negara atau calon anggota dewan. Oleh karena itu, si pemilih harus punya kelayakan sebagai seorang saksi adil dan baik perilakunya sehingga orang banyak ridha kepadanya. Allah azza wa Jalla berfirman, ”hadirkanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu”. (QS ath Thalaq:2) ”dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (QS al Baqarah:282). 

SUMBER :